Nafkah
Nafkah berasal dari
kata nafaqa artinya hilang, terputus, menyembunyikan, mati,
dan membelanjakan. Nafqah dalam pengertian syara sesuatu yang
dibelanjakan, bisa berupa dirham (uang) atau yang
lainnya atau harta benda yang harus diberikan oleh seorang suami
kepada istrinya, untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, biaya mengasuh dan
lain sebagainya.
Para ulama fikih sepakat bahwa suami
mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Kewajiban ini berlandaskan
pada dalil-dalil dari Al-quran, Hadis dan Ijma. Allah
Swt. berfirman:
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf.” (QS. Al-Baqarah: 233) Allah
Swt. juga berfirman: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin.”
(QS. Ath-Thalaq 6)
Jika Allah mewajibkan suami memberi
nafkah kepada istri yang sudah diceraikan sedang hamil, apalagi kepada istri
yang tidak dicerai. Dan Allah Swt. berfirman:
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq:
7)
Allah Swt. memerintahkan
suami untuk memberikan nafkah kepada istri, baik dalam keadaan lapang maupun
sedang dilanda krisis. Allah Swt. juga berfirman,
“Allah meluaskan
rezeki dan menyempitkan bagi siapa yang dia kehendaki.” (QS.
Ar-Ra’d: 26).
“Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri
mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.” (QS. Al-Ahzab:
50) Dan Allah berfirman,
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (Laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.
An-Nisa: 34)
Dari ijma (Kesepakatan ulama), para
ulama sepakat bahwa suami yang sudah balig mempunyai kewajiban untuk memberikan
nafkah kepada istrinya yang tidak berbuat nusyuz.
Menurut Ibnu Hazim, istri harus menanggung nafkah suaminya yang tidak mampu,
dan jika suatu ketika suaminya sudah mendapat kelapangan, dia tidak boleh
menuntut suaminya untuk mengganti nafkah yang selama ini diberikan kepada
suaminya.
Ukuran
Nafkah
Perkiraan nafaqoh menurut kemudahan dan kesulitan suami, berdasarkan firman
Allah Swt.:
“Tempatkanlah mereka
(para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (Qs. Ath-Thalaq 6)
Dan
Firman Allah Swt:
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaq 7).
Adapun
makna ayat tersebut yakni menurut kemampuanmu seagaimana sabda
Rasulullah Saw. kepada Hindun:
“Ambilah sesuatu yang
mencukupi engkau dan anak engkau.”
Dengan apa yang telah dikenal manusia, bahwa setiap
manusia memberikan nafkah sesuai dengan kadar kondisinya.
No comments:
Post a Comment