Monday, October 17, 2016

Nafkah

Nafkah
           

Nafkah berasal dari kata nafaqa artinya hilang, terputus, menyembunyikan, mati, dan membelanjakan. Nafqah dalam pengertian syara sesuatu yang dibelanjakan, bisa berupa dirham (uang) atau yang lainnya atau harta benda yang harus diberikan oleh seorang suami kepada istrinya, untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, biaya mengasuh dan lain sebagainya.

            Para ulama fikih sepakat bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Kewajiban ini berlandaskan pada dalil-dalil dari Al-quran, Hadis dan Ijma. Allah Swt. berfirman:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS.  Al-Baqarah: 233) Allah Swt. juga berfirman: Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. Ath-Thalaq 6)

            Jika Allah mewajibkan suami memberi nafkah kepada istri yang sudah diceraikan sedang hamil, apalagi kepada istri yang tidak dicerai. Dan Allah Swt. berfirman:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

            Allah Swt. memerintahkan suami untuk memberikan nafkah kepada istri, baik dalam keadaan lapang maupun sedang dilanda krisis. Allah Swt. juga berfirman,
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkan bagi siapa yang dia kehendaki.” (QS. Ar-Ra’d: 26).
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.” (QS. Al-Ahzab: 50) Dan Allah berfirman,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (Laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)

            Dari ijma (Kesepakatan ulama), para ulama sepakat bahwa suami yang sudah balig mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang tidak berbuat nusyuz. Menurut Ibnu Hazim, istri harus menanggung nafkah suaminya yang tidak mampu, dan jika suatu ketika suaminya sudah mendapat kelapangan, dia tidak boleh menuntut suaminya untuk mengganti nafkah yang selama ini diberikan kepada suaminya.

Ukuran Nafkah

            Perkiraan nafaqoh menurut kemudahan dan kesulitan suami, berdasarkan firman Allah Swt.:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (Qs. Ath-Thalaq 6)
Dan Firman Allah Swt:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaq 7).
Adapun makna ayat tersebut yakni menurut kemampuanmu seagaimana sabda Rasulullah Saw. kepada Hindun:
Ambilah sesuatu yang mencukupi engkau dan anak engkau.
Dengan apa yang telah dikenal manusia, bahwa setiap manusia memberikan nafkah sesuai dengan kadar kondisinya.

No comments:

Post a Comment