Poligami
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu istri. Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu istri. Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Kedatangan Islam tidak menghapus praktek poligami, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri.
Firman Allah surat Al-Nisa’ ayat 3 berbunyi :
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Ayat ini secara ekplisit seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah Saw. memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita. Dalam hadis lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya: "Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad Saw. maka beliau bersabda: "Pilihlah empat orang dari mereka." (HR. Abu Daud).
Bahwasannya Allah Swt. memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah Swt. dalam Surat An Nisa' ayat 129 yang artinya:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.".
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
a). Istri mandul,
b). Istri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin,
c). Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga istrinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong, dan
d). Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.
Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fikih paling tidak memliki dua syarat :
Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri.
Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain. Sementara menurut Muhammad Abduh, poligami memang diungkap dalam Al-quran, tetapi hal harus diikuti syarat keadilan. Apabila si suami (dilingkupi perasaan) takut gagal memenuhi tuntutan tersebut maka seorang istri saja sudah cukup.
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain;
Pertama, untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
Kedua, untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
Ketiga, untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Dan
Keempat, untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
Semenatara Al-Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami.
Pertama, kebolehan polgami yang dibatasi empat orang istri menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya.
Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.
Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang.
Pada hakikatnya, jika suami sudah meyakini bahwa dirinya tidak mampu berbuat adil, seharusnya ia tidak berpoligami. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan bagi pihak yang sangat membutuhkan dan yakin mampu berbuat adil, dan yang mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri dan Tuhan..
No comments:
Post a Comment